Jumat, 24 Agustus 2012

7-DEGREES OF STRATEGIC TRADE MARKETING EXCELLENCE


Dalam artikel sebelumnya telah dibahas mengapa Trade Marketing merupakan ‘game-changer’ dalam situasi krisis yang pernah,sedang dan suatu saat akan kita hadapi lagi. Kini pertanyaannya, Trade Marketing seperti apa yang dapat menjadi ‘game changer’. Seperti telah saya kemukakan sebelumya, sudah terlalu banyak salah kaprah tentang ‘trade marketing’ ini.

Trade Marketing kini identik dengan sekelompok orang yang mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh team (consumer) marketing dan team sales. Di beberapa perusahaan, trade marketing menjadi sekumpulan orang yang tugasnya melakukan administrasi atas kegiatan team sales yang menggunakan anggaran promosi. Disebagian tempat, dengan mendirikan departemen dan merekrut seorang Trade Marketing Manager, perusahaan beranggapan mereka sudah menjalankan Trade Marketing. Yang paling parah, Trade Marketing diidentikan dengan trade promotion, jadi kalau ditanya seberapa penting trade marketing, jawabannya : sangat penting, oleh karena itulah kami memberikan trade discount. OMG!

Bagi saya, seperti selalu saya kemukakan diberbagai kesempatan, lebih dari sekedar hal-hal remeh yang telah dikemukakan diatas, trade marketing haruslah menjadi ‘way of thinking’ dan ‘way of life’ bagi pelaku bisnis consumer goods, utamanya. Jadi bila kita hendak me-launch suatu produk baru, selain melakukan consumer study, sudah seharusnya kita juga melakukan shopper study. Jika kita melibatkan konsumen dalam proses pengambilan keputusan, sudah seharusnya juga kita melibatkan retailer dalam riset-riset kita dan pengambilan keputusan sesudahnya. Setidaknya meminta tanggapan mereka.

Karena itu juga seringkali dikatakan berlangsungnya aktivitas trade marketing di suatu perusahaan merupakan suatu evolusi. Di tahap awal trade marketing hanya berfungsi adminstratif, mendata, mencatat kemudian melaporkan penggunaan dana promosi oleh team sales. Tahapan berikutnya, trade marketing mulai memberikan ‘advis’ berdasarkan pengetahuan dan informasi yang mereka miliki (retail audit, consumer study). Kemudian di tahapan lebih lanjut, trade marketing mulai dilibatkan dalam aktivitas planning karena kombinasi pengetahuan mereka mengenai channel dan produk yang sudah lebih mumpuni. Pada puncaknya, trade marketing sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi perusahaan karena ‘shopper proposition’ sama pentingnya dengan ‘consumer proposition’.

Dalam kerangka berpikir yang lebih luas, trade marketing yang sudah tahap visioner menjadi jembatan penting integrasi strategi supplier/manufacturer dengan retailer. Dimana dalam tahap itu hubungan manufacturer/supplier dengan retailer sudah berada pada tahap ‘business alliance’ (strategic development), jauh dari sekedar ‘transactional’ (traditional selling) yang sangat bersifat jangka pendek.

Lalu seperti apakah trade marketing yang sebenarnya? Yang sejatinya trade marketing yang ‘excellent’ harus dibangun diatas fondasi yang kuat dan ditopang oleh eksekusi yang disiplin. Inilah yang sebut sebagai ‘the right to play’ dan ‘the right to win’. Memiliki ‘the right to win’ berarti strategi trade marketing Anda memiliki hal-hal yang diperlukan untuk mendominasi pasar. Ini berkaitan dengan apakah anda akan memenangkan persaingan dengan semua kompetitor anda. 
Untuk jelasnya, suatu produk tidak bisa menang di semua segmen, tapi dengan strategi yang tepat kita bisa memilih disegmen mana kita akan fokus berkompetisi. Di sisi lain, kita bisa memilih ceruk pasar tertentu di area tertentu. Jika ceruk pasar tersebut dapat dipertahankan (defensible), menarik dan menguntungkan (lucrative) dan kita memiliki hal-hal yang diperlukan untuk menang, maka kita dapat mendominasi segmen tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa memiliki ‘the right to win’ berarti tidak ada kompetitor yang mampu memberikan lebih baik dari apa yang dapat anda tawarkan ke retailer. Ini berarti produk anda menjadi yang pertama muncul di benak retailer jika mereka membutuhkan sesuatu yang berkaitan dengan produk/kategori yang anda miliki/kuasai.

Tapi cukupkah hanya memiliki ‘the right to win’? Banyak perusahaan kemudian terjebak disini. Dengan anggaran trade promotion yang mereka miliki, fokus kegiatan trade marketing kemudian adalah pada aktivitas-aktivitas bersama retailer dan karena tanpa didukung fondasi yang kuat maka aktivitas tersebut berkisar tidak jauh dari pemberian discount, cash-back, purchase with purchase, itu saja. Padahal kita tahu, konsumen tidak kemudian meningkatkan konsumsi susu dari 2 gelas per hari menjadi 4 gelas per hari hanya karena kita memberikan discount 25%. Tidak juga orang yang sebelumnya tidak minum susu lalu berubah menjadi peminum susu hanya karena kita memberikan cash-back 25%. Fondasi inilah yang disebut sebagai ‘the right to play’. 

Pertanyaan muncul kemudian, apakah dengan tanpa memiliki ‘the right to play’ lalu kita tidak bisa ‘menang’? Jawabannya: bisa. Ini yang kemudian menjadi senjata bagi mereka para penganut ‘short-termism’, para pengejar tujuan jangka pendek. Yang penting dalam satu-dua tahun saya sukses, saya segera dipromosikan, resikonya menjadi tanggungan penerus saya. Familiar dengan hal ini?

Jadi, ini memang pilihan. Membenahi fondasi (the right to play) yang memang perlu effort khusus dan makan waktu, atau langsung kerjakan segala macam promosi untuk mengejar target penjualan, meskipun tahu akibat yang ditimbulkannya. Mulai dari menumpuknya stok di rak, di gudang toko, gudang distributor, gudang kita sendiri. Barang dalam jumlah besar mendekati ‘expired date’nya. Produk didistribusikan di channel atau area yang bukan targetnya. Sampai turunnya market share secara perlahan namun pasti. Karena itu tak perlu jauh-jauh mencari ‘pembunuh’ brand anda, mereka ada disekitar anda, didalam perusahaan anda sendiri.

Lalu tahapan apa saja yang dikelompokkan sebagai ‘the right to play’ atau fondasi dari ‘excellent strategic trade marketing’? Yang pertama adalah daftar registered outlet, kemudian channel classification dan outlet data-base, yang ketiga adalah route-to-market analysis dan yang keempat channel strategy. Keempat hal ini wajib dimiliki sebelum kita dapat membangun strategi trade marketing yang paripurna. 

Tiga tahapan berikutnya dikelompokkan kedalam ‘the right to win’ adalah optimisasi key driver (assortment, merchandising, harga jual retailer dan in-store promotion), eksekusi di toko (winning execution in the winning stores) dan ‘profitable growth through winnning in shelves’. Anda dapat menjalankan ketiga tahapan ini tanpa keempat fondasi diatas, namun prosesnya ‘painful’ karena belum tentu sesuai kepentingan satu channel/area dengan channel/area yang lain, tidak sesuai dengan ‘brand strategy’ dan hasilnya tidak akan bertahan lama (not sustainable). 

Ketujuh tahapan inilah yang saya sebut sebagai ‘The Seven Degrees of Strategic Trade Marketing Excellence’. Dalam artikel-artikel berikutnya akan kita bahas satu per satu tahapan tersebut. In the meantime, sudah seperti apakah trade marketing dijalankan di tempat anda?