Senin, 15 Desember 2008

LADANG EMAS INDUSTRI TELEKOMUNIKASI

INDONESIA adalah pasar yang besar dan potensial berbagai produk industri. Pasar ini dibidik oleh banyak pelaku usaha, baik dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri. Salah satu indikatornya adalah populasi penduduk yang berjumlah 225 juta jiwa. Asumsinya jika bisa merebut angka pasar 10 persen saja dari jumlah di atas, dikalikan nilai produk yang terjual, maka itu berarti profit yang menjanjikan.
Kini perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi begitu merebak, mangalir tak terbendung sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. Kotak ajaib atau biasa disebut televisi, misalnya, telah lama memanjakan kita akan kebutuhan informasi dan hiburan, bahkan masuk ke ruang keluarga maupun pribadi. Lebih fenomenal lagi dibanding televisi adalah telepon seluler, yang bisa dikantongi ke manapun pemakainya pergi tapi masih dapat berkomunikasi dengan hanya memainkan jari-jemari. Memiliki telepon seluler atau handphone (HP) dengan segala variasi bentuk dan keunggulannya, awalnya merupakan bagian dari gaya hidup, masalahnya tidak semua orang mempunyai atau menggunakannya. Tapi kini HP sudah jadi kebutuhan untuk menunjang kelancaran segala aktivitas, bahkan penjaja asongan pun memiliki dan memanfaatkannya. Apalagi mereka yang secara strata sosial-ekonomi berada di atasnya. Para pebisnis pun bisa secara praktis saling kontak dengan relasi atau rekanannya melalui telepon seluler guna melancarkan dan meningkatkan usahanya.
Maka, tak mengherankan kalau Indonesia dengan penduduknya yang padat itu, menjadi rebutan pasar berbagai produk seluler dan perangkat penunjangnya. Ratusan juta telepon seluler digunakan oleh orang Indonesia. Produk pabrikan HP saling berebut pangsa pasar sampai ke pelosok nusantara, belum lagi operator penyedia jaringan yang terus menerus saling berkompetisi.
Menjadi logis, perang tarif produk HP maupun operator kian menjadi-jadi dan “gila-gilaan”. Alokasi iklan di media cetak maupun elektronik dengan ruang atau durasi yang signifikan atas nama produk-produk tersebut, menjadi bacaan atau tontonan di depan mata kita setiap hari. Padahal volume iklan tersebut menyita biaya yang sangat besar. Sementara situasi ekonomi global lagi gonjang-ganjing alias resesi. Kontras!
Kalau sudah bicara resesi yang berarti ekonomi sulit, bisnis repot, omzet anjlok, produk menurun, industri kolaps, PHK (pemutusan hubungan kerja) tak terkendali, maka di mana-mana orang akan mengetatkan dan mengencangkan ikat pinggang. Mereka hanya mengonsumsi barang yang perlu saja, utamanya kebutuhan pangan. Sementara fakta berbicara bahwa dalam era krisis ekonomi ini, 40 juta orang Indonesia termasuk dalam golongan krisis pangan. Dan dari 6,5 miliar penduduk dunia, 963 juta orang berkategori kelaparan. Demikian angka yang dicatat oleh Badan Pangan dan Pertanian Dunia FAO (Food and Agriculture Organisation).
Kembali ke seputar masalah telekomunikasi. Meskipun masih dirundung resesi global, aktivitas telekomunikasi telepon seluler tahun 2009 diperkirakan terus meningkat. Lihat saja pembangunan BTS (base transceiver station) menjamur tak pernah henti hingga pelosok pedesaan yang terpencil sekalipun. Para pelaku usaha di bidang telekomunikasi umumnya bersikap optimistis, meski pertumbuhan ekonomi 2009 diprediksi kurang menggembirakan. Agaknya optimisme mereka didasarkan pada statistik pertumbuhan dari tahun 2007 sampai dengan 2008. Bakrie Telecom naik 124 persen, XL naik 95 persen, Indosat 61 persen, sedangkan Telkomsel 35 persen. Terlebih lagi 2009 adalah tahun pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Tentu saja pemakaian seluler terkait dengan pergelaran pemilu – seperti kampanye via SMS, hadiah “politik” dengan cara kirim pulsa premium, kuis “politik”, dsb) --, makin menanjak.
Industri informasi dan telekomunikasi memang menjadi ladang emas bagi para pelaku usaha di bidang tersebut dan yang terkait. Produk seluler terus bersaing saling berebut pasar. Pemain-pemain lama yang disebut sebagai “4 besar” (Nokia, Motorola, Sony Ericsson, Samsung) masih mendominasi, sementara pemain-pemain lain membidik dan membayang-bayangi di belakangnya.
Namun, kalau kurang waspada dalam perhitungan, bisa-bisa blunder. Selain daya beli menurun, rata-rata ARPU (average revenue per user) pun cenderung merosot hingga 40 ribu rupiah. Masih diperkeruh oleh realita bahwa rata-rata 70-90 persen kartu perdana yang terjual, ternyata tidak diisi ulang alias dibiarkan hangus oleh pembelinya. Artinya dari 100 pengguna kartu perdana, hanya 10-30 orang yang berlanjut mengisi ulang kartunya itu. Ini rugi besar bagi pelaku usaha di bidang seluler.
Sekarang ada trend yang lagi berkembang terkait dengan usaha informasi dan telekomunikasi. Pengguna internet meningkat cukup tajam. Tahun 2007 saja terdapat sekitar 25 juta orang, dan tahun 2008 meningkat menjadi 32 juta orang. Perkembangan teknologi digital dan internet menghadirkan “genre” media baru, yang memungkinkan kapan pun dan di mana pun orang dapat mengakses informasi yang lebih beragam. Perangkat keras dan perangkat lunaknya menjadi “ladang emas” yang menjanjikan. Sebuah lahan luas prospektif yang perlu digarap para pelaku usaha.
Di tahun 2009 sebagai tahun pemilu bangsa Indonesia, mestinya para politisi bisa memanfaatkan efektivitas propaganda politiknya lewat internet. Belajarlah pada Barack Obama. Kesuksesan Barack Obama sebagai presiden terpilih Amerika Serikat 2008 pun antara lain karena efektivitas kampanyenya lewat internet. Dengan kecerdasan dan keprofesionalan mengelola situs www.barackobama.com, maka Obama disebut-sebut sebagai the first internet presidency. Fantastis!
Kita sadar, bahwa teknologi informasi dan telekomunikasi amat penting dan memang sangat dibutuhkan agar kita bisa secara arif menyikapi bergulirnya zaman, tanpa tergilas oleh derasnya globalisasi zaman itu sendiri. (Imron Samsuharto)

Tidak ada komentar: